TERSESAT

Entah kemana lagi harus kutapakkan kakikaki tak berarah. Barat pun kini tak lagi menjadi kiblat. Begitu pun timur, utara, selatan, dan lainnya sudah tak lagi berbeda. Sudah enggan nafas ini berhembus. Jantung pun sepertinya sudah bosan untuk sekedar berdetak. Bahkan mendiang tuhanku pun beranjak dari doaku. Akhirnya, aku pun tenggelam dalam samudra keputusasaan. Aku tersesat !
..
Entah mengapa ku mulai teringat akan ruparupa dosa yang sempat ku kenal. Membuatku menyeduh air mata. Kini, sesal pun tak lagi terbayar. Suara kepak sayap malaikat maut sudah menjelas di ujung raut telinga.
..
Sadarku di ujung tangis cemara. Tangisku tenggelam di dasar samudra. Harapanku terkubur bersama batu nisan. Tuhanku kemana ? Aku tersesat !
..
Namun, kini kuingat kau. Kau dengan selimut birumu yang menawan nafsu. Tawamu menyisihkanku di pelaminan rindu.
Tapi sama saja !!
..
Percuma !
Percuma !
Percuma !
Aku masih saja tersesat !!!

ITTIHAD

Ku lihat daku
Ku lihat semesta
Ku lihat Kau
Hanya terlihat Engkau !
..
Aku sembunyi di balik tubuhMu
Begitupun segalanya
Hanya terlihat Engkau !
..
Aku adalah Engkau
Segalanya adalah Engkau
Hanya terlihat Engkau
Engkau, siapa ?
..
Lalu, siapa Engkau ?
Apakah engkau adalah Engkau ?
Apakah Engkau adalah engkau ?
Atau Engkau adalah segalanya ?
Atau bisa saja Engkau adalah daku
Entahlah !

Dosa dari Sekedar Merindu

Di balik lembarlembar yang ku coba tuk tenggelamkanmu
Menyisihkanku dalam alur bilangan usia

Di balik sujudsujud yang ku coba tuk menguburmu dalamdalam
Mengingatkanku pada sayatsayat kenangan

Di balik pelupeluh yang ku coba tuk menangkis bayangmu
Menyentakku ke dalam cerap tangis mencelup doaku

Lalu, harus ku apakan dirimu ini ?
Setelah kau dan aku tau, bahwa kita benarbenar lupa dimana rindu ini berhulu ?

Emanasi Rindu

Aku hidup karena rindu. Di setiap sudut takdirku, selalu saja tergenang rindu. Bahkan kusuruh detak jantungku berirama rindu.
Kau akan memuja
Kau akan berjuang
Kau akan bahagia
Karena rindu
Percayakah ? Jika tidak, masihlah patut untuk kau pertanyakan
Pada fathimah dan ali
Pada qais dan laila
Pada katak dan pungguk
Pada rabiah dan tuhannya
Sudahkah ? Jika iya, apa jawaban mereka selain rindu ?

Malam Rindu

“Kau mau menggadaikanku pada malammalam tak jelasmu itu, hah ?”

Gerammu, rinduku.

Kau menangis menjadijadi. Menjadi apa saja. Bahkan, rupa yang terakhir kali kuingat adalah semacam pilu.

Melihatmu seperti ini, membuatku semakin bingung. Bingung tentang mitos roda kehidupan. Kemana arah gelindingnya ? Hingga rasanyaaku tak sekali pun mengecap rasa berada diatasmu.

Kucoba tuk tak seperti itu lagi

Kubuai kau dalam pelaminan kalbu. Kucumbu kau lewat gurat hitam kakikaki penaku. Hingga aku lupa dimana kutaruh malamku.

Namun, pada kenyataannya. Aku tetap dilanda bingung. Kenapa malah kau yang mengawini malamku ?

Usia Malam

Kuyupkuyup malam datang membangunkanku. Memelukku dengan kecup ribuan bintangnya. Membisikiku dengan nafasnafas surga.

“Kau ingin aku mencumbumu, lagi ?”

Anggukanmu perlahan membangkitkan gairahku.

Kuraih kantuk lalu kuhempaskannya pada sudutsudut bantal tak berupa. Langkah mengawali sadarku menatap isakmu dibalik sorban yg kau berikan untukku.

“Kemana saja dirimu ? Aku cemburu pada mimpimu!”

Teriakmu melengking di leher rindingku.

Kuhitung kali menemuimu dalam ragu saat angkaangka dalam jemariku mulai tak berbilang.

Akhirnya, aku pun tersentak bersamaan dengan denyut terakhir nadi ini.

“Maaf sayaang, aku tak pernah menghianatimu !”

Tutupku pada usia

Sekali Karya

Semburat rindu menghitam menyelami samudra tinta dalam karya. Kadang mengepul pekat dalam ujung hisab kenikmatan. Pada akhirnya, waktu berirama sepi, yang melepuh bersama lembab air mata menjadi saksi, menerbangkannya pada ludah tetangga.

*apresiasi bukan pantas yang harus disanding oleh karya, seperti laila yang bukan takdir untuk dicumbu oleh qais*

Persamaan Dalam Perbedaan

Hanya garagara mereka berbeda ideologi dengan kita, kita berhak mengkafirkan mereka. Hanya garagara mereka berbeda keyakinan dengan kita, kita berhak meletakkan mereka ditempat di bawah kita.
Tragis sekali. Namun logika nya seperti ini, haruskah kita marah kepada orang lain yang sama sekali tidak mirip dengan kita ?

Perbedaan merupakan rahmat. Namun poin terpenting nya buka terletak pada sisi perbedaannya, namun pada hal ihwal yang membuat segala perbedaan itu terasa sama. Bukan memberatkan salah satu sisi. Jika begini terus, sampai kapan akan selesai ‘perang’ ideologi yg kini mulai mengatasnamakan tuhan ? Seakan kita tidak sudi saja berbagi tempat di surga dengan orang yg berbeda dengan kita kelak. Ingat, dunia terlalu sempit jika kita hanya melihat perbedaannya. Namun surga akan selalu terasa luas saat persamaan yang kau tempelkan tidak hanya di ujung kelopak mata kita.



*salam satu rasa*

Mahar Mimpi Kita

sekelebat bayang menyelinap dalam ruang imaginer
memanggil segala rindu yang kini menjelma candu
menyisiri indah kisah bagai legenda
cerita tentang aku dan kau
dalam sekat jengkal yang mungkin terlalu dekat tuk kulukis dalam untai doa

rinduku …
kuingin menjaga mahligai kita dalam dekap kalbu
hingga pelaminan kita terhampar megah di dalamnya
meski sedikit pahit dalam derap harap
namun ku coba memaniskannya
dalam bingkai sangka suci
pada dia Sang Maha Rindu
karena pada jemari takdirNya lah
mimpi kita berlabuh
dan ingin kubisikkan dalam sajak ini
bahwa Dia selalu mampu tuk menghias cerita
dalam senandung sempurna

rinduku …
maharkan imanmu pada kehendakNya
maka halalmu akan kuimani dalam RidloNya

Kopi : Cerita Seteguk Pahit

“Mbak, saya pesan kopi, pisahkan pahitnya ya”, pintaku pada pelayan ini.

“Hidup, tak boleh memilih rasa nyeri”, jawabnya, menjauh pergi.

“Baiklah, satu cangkir saja, kopi tanpa gula, agar pahitnya membuat luka makin dewasa”, jawabku, sambil menatap daftar menu.

“Pesan saja kopi yang kamu mau. Siapa tahu, pada teguk terakhir kopimu, luka menemukan takdir yang ia mau”, pelayan itu menceramahiku.

“Seperti apa kau tahu tentang rasa sakitku ? apakah sebaik pengetahuanmu tentang rasa pahit kopiku?”, kataku.

“Minum saja kopimu, jangan kau habiskan waktumu dengan bertanya padaku. Rasa pahit, dan juga rasa sakit, memiliki deadline sendiri-sendiri”, katanya, malu-malu sambil menatapku.

“Terima kasih, Mbak, telah memberi rasa pahit pada kopiku. Boleh minta nomor teleponmu, nanti kutelepon kalau aku sudah bisa melupakan rasa sakitku”, pintaku, ragu-ragu.

“Tak perlu menghubungiku. Sebab, saat kau telah melupakan rasa sakitmu, aku tak lagi menjadi pelayan di tempat ini”, jawabnya, sendu.


Kutinggalkan tempat itu pelan-pelan, ada yang menetes perlahan-lahan; mungkin rasa pahit, mungkin kesedihan. Kubaca sebuah pesan pada bon yang baru saja aku bayarkan: “Selain Kopi, Tak Ada Lagi kekasih yang Tak Menyakiti”.